Minggu, 05 Desember 2010

Hukum Kloning

Ilmu pengetahuan berkembang semakin pesat. Setiap hari penemuan baru dihasilakan para ilmuwan di berbagai negara. Salah satu keberhasilan ilmuwan dalam bidang sains yang mengundang kontroversi adalah kloning, yaitu teknik penggandaan gen untuk menghasilkan keturunan yang sama sifat, baik hereditas maupun penampakannya.

Kloning bukanlah hal yang baru. Percobaan kloning telah dilakukan pada 1950-an. Seiring waktu, kloning kian maju. Institut Roslin, Skotlandia, pada 22 Februari 1997 mengumumkan keberhasilan dalam mengkloning domaba Dolly, mamalia pertama yang berhasil dikloning dari sel dewasa. Pada 27 Maret 2007, para ilmuwan Korea Selatan juga mengumumkan keberhasilannya mengkloning serigala langka.

Mereka merupakan tim peneliti yang sebelumnya berhasil mengkloning anjing jenis afgan dan pudel. Pada November 2007, dunia dikejutkan oleh para ilmuwan Oregon yang menyatakan berhasil mengkloning embrio kera dan mengekstraknya dalam sel induk, yang sangat potensial untuk penelitian kloning manusia.
Lalu bagaimana hukum Islam memandang kloning? Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VI MUI di Jakarta pada tahun 2000 telah menetapkan fatwa tentang kloning. Dalam fatwa bernomor: 3/Munas VI/MUI/2000 itu para ulama menetapkan kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang dapat berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram.

Namun, para ulama membolehkan kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan. “Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan dan/atau untuk menghindarkan hal-hal negatif,” demikian fatwa yang ditandatangani Ketua MUI Prof. Umar Shihab itu.

Dalam fatwanya, MUI mewajibkan kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik kloning terhadap manusia. MUI juga mewajibkan kepada para ulama untuk senantiasa mengikuti perkembangan kloning serta menyelenggarkan kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.
Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) pun telah menetapkan fatwa tentang kloning gen pada tanaman, hewan dan manusia dalam forum Bahtsul Masail Diniyah, Munas NU yang digelar pada 17-20 November 1997 di Ponpes Qomarul Huda Bagu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Dalam fatwanya, para ulama NU menyatakan, pemanfaatan teknologi kloning gen pada tanaman diperbolehkan, demi kemaslahatan hajat manusia. Lalu bagaimana dengan kloning pada hewan? Ulama NU menegaskan, kloning pada hewan juga diperbolehkan dengan catatan dilakukan untuk kemaslahatan yang dibenarkan syariat.

Sama dengan fatwa MUI, ulama NU juga secara tegas mengharamkan kloning pada manusia. Apa alasannya? “Proses tanasul (berketurunan) harus dilakukan melalui pernikahan secara syar’I,” demikian bunyi fatwa ulama NU.
Selain itu, para ulama Nu juga berpendapat bahwa kloning gen manusia juga bisa mengakibatkan kerancuan nasab. “Penanaman kembali ke dalam rahim tidak dapat dilakukan tanpa melihat aurat besar”, papar ulama NU menegaskan larangannya terhadap upaya kloning pada gen pada manusia.

Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya Fatwa-Fatwa Kontemporer juga telah membahas hukum kloning yang kian marak dilakukan sejumlah ilmuwan di dunia. Menurut Syekh al-Qaradhawi, pada dasarnya Islam menyambut baik perkembangan ilmu pengetahuan dan riset ilmiah.

“Namun, dalam Islam, ilmu pengetahuan sama seperti halnya amal perbuatan, perekonomian, perpolitikan dan perang. Semua harus terikat oleh nilai-nilai agama dan etika,” papar Syekh al-Qaradhawi. Menurut dia, Islam tidak menerima ide pemisahan antara hal-hal tersebut dari agama dan etika (akhlak).
Syekh al-Qaradhawi, menyatakan, kloning gen pada manusia haram hukumnya. Sebab, upaya itu akan mengakibatkan berbagai kerusakan.

Pertama, hilangnya sunnah tanawwu “hukum variasi” di alam raya. “Praktik kloning pada manusia bertentangan dengan akidah ini,” ujarnya menegaskan.

Kedua, bisa menimbulkan kerancuan hubungan antara orang yang dikloning dengan hasil kloningan. Kloning pada manusia juga dinilai bertentangan dengan sunnah berpasang-pasangan. “Kloning bukanlah menciptakan kehidupan baru, melainkan hanya menggunakan kehidupan yang sudah diciptakan Allah SWT pada mahluk-Nya”.
Syekh al-Qaradhawi berpendapat bahwa ide kloningan telah memberikan kontribusi dalam menunjukkan kebenaran slah satu akidah agama yang sangat prinsip, yakni tentang hari kebangkitan dan kehidupan setelah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar